Minggu, 04 Juli 2010

Sepiring Nasi

Sebuah Agenda Pendidikan Karakter

Mendengar, atau melihat ‘Sepiring nasi’ pikiran kita langsung mengarah kepada masalah ‘makan’. Apalagi sepiring nasi dilengkapi dengan lauk-pauk dan penampilan yang mengundang selera pasti akan membangunkan cacing-cacing di lambung yang tidak sabar menunggu untuk melahapnya. Mereka menyanyikan lagu ‘keroncongan’, memaksa mata untuk menatap dan mendorong mulut untuk mengeluarkan air ludah sebagai pertanda bahwa sepiring nasi itu siap menjadi santapan.

Di mata orang miskin, sepiring nasi adalah sesuatu yang amat berharga. Mereka belum tentu mendapatkannya setiap hari. Tidak jarang mereka harus berpuasa sambil memeras keringat untuk mendapatkan sepiring nasi. Orang tua mungkin dapat toleransi terhadap jeritan lambungnya yang merintih kelaparan, tetapi tidak terhadap anak-anaknya. Orang akan berbuat apa saja untuk mendapatkan sepiring nasi walaupun taruhannya nyawa atau penjara. Lain halnya dengan orang kaya. Sepiring nasi adalah sesuatu yang tidak berharga. Mereka bisa mendapatkannya kapan saja dan dengan harga berapa saja. Mereka dapat makan sepuasnya atau bersisa untuk dibuang.

Tetapi apakah kita pernah berpikir bagaimana sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauknya bisa terhidang di meja makan atau tertata dalam sebuah piring? Siapa sajakah yang berperan dan bagaimana sebuah kolaborasi nonformal sudah terbentuk? 

Sepiring nasi dalam bentuk porsi sederhana atau disebut dengan ‘nasi ramas’ atau ‘nasi ampera’ biasanya terdiri dari nasi, sayuran, sepotong tahu atau tempe, sepotong ikan atau daging dan bumbu perasa berupa cabe, bumbu dapur, rempah-rempah dan garam. Kelihatannya memang sederhana. Tetapi harus diingat, tidak ada pohon nasi, pohon sayuran matang, pohon tahu dan tempe serta pohon garam di bumi ini yang dapat ditanam di sekitar rumah. Kita juga tidak bisa menata semua yang diperlukan itu langsung di atas piring, bisa-bisa selera makan menjadi hilang atau piring hancur berantakan ditimpa sapi.

Perlu proses panjang untuk menghadirkan sepiring nasi di meja makan. Dimulai dari produsen hulu, produsen perantara, distributor, agen, pedagang dan tenaga pengolah di dapur kita. Tidak jarang pula, jalur yang ditempuh diperpanjang oleh pengusaha pengumpul dan pemasok bahan baku untuk produsen perantara, pengusaha angkutan, serta pedagang pengecer atau pedagang keliling.

Produsen hulu yang terdiri dari petani, peternak dan nelayan – walaupun hakikatnya bukanlah awal dari sebuah produksi karena mereka juga memerlukan jasa orang lain yang menyediakan alat dan bahan untuk produksi mereka – adalah orang yang berjasa menyediakan bahan makanan yang dapat dihidangkan dalam bentuk ‘sepiring nasi’.

Kita tidak mungkin menjelaskan satu persatu jasa dan perjuangan mereka dalam menyediakan kebutuhan pokok untuk kehidupan bangsa ini. Seperti petani yang terdiri dari petani padi, petani sayuran, petani bumbu dapur, petani rempah-rempah, petani ikan dan petani garam. Masing-masingnya dapat mempunyai spesifikasi sendiri-sendiri, seperti seorang petani sayuran tidak mungkin menanam semua jenis sayuran yang dibutuhkan oleh pasar. Terlalu panjang langkah yang diayunkan, terlalu banyak kata yang harus dirangkai untuk menyajikan semuanya.

Padi, bahan baku beras dan selanjutnya untuk dimasak menjadi nasi, bukanlah bulir-bulir yang dapat dipetik di hutan. Bukan pula tumbuhan liar yang dapat hidup dan berkembang dengan sendirinya tanpa campur tangan Bapak dan ibu tani. Tetesan keringat dan kesahajaan hidup petani merupakan jasa besar bagi kehidupan semua orang, walaupun kadang-kadang mereka menjadi sasaran empuk pemerasan dan penipuan para tengkulak. Mereka juga kelompok masyarakat yang sering terlupakan dalam arena gebyar pembangunan. Hilangnya subsidi pertanian dan digantikan dengan subsidi pangan merupakan pukulan telak yang pernah menimpa petani. Para petani beralih fungsi menjadi urban untuk mengadu nasib di kota. Minat anak muda untuk menjadi petani terhapus karena penghasilan sebagai pengamen, pengemis atau pedagang asongan lebih baik dari penghasilan seorang petani.

Profesi sebagai petani sering dipandang sebelah mata, atau malah tidak dipandang sama sekali. Tetapi mampukah kita menyelami kehidupan petani? Atau menggantikan tugasnya walau hanya untuk beberapa hari?. Atau mampukah kita meramalkan apa yang terjadi bila suatu saat tidak ada petani? Atau tidak ada lagi lahan pertanian yang bernama ‘sawah’ karena beralih fungsi menjadi lahan pemukiman, gudang, pabrik atau lapangan golf?. Jawaban yang cepat adalah: Kita bisa mendatangkannya (import) dari negara lain. Pilihan ini bukan tanpa risiko. Pengalaman Indonesia sebagai negara pengimport beras adalah pengalaman pahit yang tidak perlu terulang lagi.

Pekerjaan petani nyaris 18 jam sehari dan 7 hari seminggu. Di pagi hari, sebelum matahari menampakkan dirinya, petani turun ke sawah bergelimang lumpur, mengolah tanah dan menggemburkannya untuk dapat ditanami. Sejak penyemaian benih sampai panen dibutuhkan waktu berbulan-bulan. Selama itu pula petani tidak pernah berhenti bekerja. Mereka harus menyingkirkan gulma, melakukan pemupukan dan mengusir hama. Tidak jarang pula mereka harus bermalam di sawah untuk menjaga agar sawahnya selalu mendapatkan pasokan air yang cukup. Tidak heran apabila waktu panen, petani amat menghargai hasil jerih payahnya. Bulir-bulir padi yang tercecer mereka pungut satu persatu. Di rumah pun mereka amat menghormati makanannya. Mereka tidak mau sebutir nasi pun terbuang percuma.   

Amatilah sejenak. Luangkan waktu dan lihat ‘apa saja’ yang ada dalam ‘sepiring nasi’. Siapa saja yang terlibat dalam menyediakan bahan-bahan makanan, mendistribusikannya dan yang mengolahnya hingga terhidang menjadi sepiring nasi.

Ajaklah anak atau siswa kita untuk mempertanyakan dan menganalisa siapa saja yang berperan dalam mempersiapkan sepiring nasi. Tanyakan:
-       Siapa sajakah yang menanam padi, mengolahnya menjadi beras hingga sampai menjasi nasi?
-       Siapa sajakah yang menanam sayuran, yang mendistrbusikannya dan yang mengolahnya hingga dapat dinikmati?
-       Siapa sajakah yang mengeringkan air laut, dan yang memurnikan garam?
-       Siapa sajakah yang menyediakan daging (sapi, kambing, ayam dan lain-lain), yang mengolah dan mendistrbusikan sehingga kita tidak perlu membeli seekor sapi untuk sepiring nasi?
-       Siapa sajakah yang menyediakan kedele dan yang mengolahnya menjadi tahu atau tempe?

Masih banyak pertanyaan yang dapat diajukan dari pengamatan kita terhadap sepiring nasi.

Ajaklah anak atau siswa kita untuk berandai-andai:
-       Mampukah kita menyediakan sepiring nasi tanpa peran dari petani, peternak, nelayan, alat transportasi dan pedagang? Berapa tahun waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan sepiring nasi?
-       Apa yang terjadi andaikan tidak ada petani, peternak, nelayan, dan orang-orang yang berperan mendistribusikan semua bahan-bahan itu hingga sampai ke dapur kita?
-       Andaikan orang-orang yang mengolah masakan di dapur kita mogok kerja karena sikap dan perlakuan kita yang kasar dan suka menghina. Apa yang akan terjadi?  

Amat bijaksana ajaran Islam yang dicontohkan Rasulullah Saw. tentang adab dan tatacara makan:
1.        Memakan makanan yang halal dan sehat dengan tidak berlebihan dan tidak mubazir
2.        Tidak mencela makanan
3.        Bersikap sederhana dan tidak berlebih-lebihan
4.        Mencuci tangan sebelum makan
5.        Mengawali makan dengan membaca ‘Basmalah’
6.        Duduk dengan lurus dan tegap, tidak bersandar apalagi sambil tidur-tiduran
7.        Tidak memenuhi mulut dengan makanan
8.        Tidak banyak bicara apalagi bercanda saat makan
9.        Disunahkan makan berjamaah untuk mempererat persaudaraan
10.    Tidak mengeluarkan suara saat mengunyah makanan
11.    Jangan mengawasi dan melihat-lihat orang makan
12.    Tidak menyisakan makanan di piring dan mengambil makanan yang tersisa di jari-jari tangan dengan mulut
13.    Membaca ‘Hamdalah’ setelah selesai makan
14.    Mencuci tangan setelah makan



Beberapa pelajaran yang dapat diambil dari mengamati ‘sepiring nasi’ adalah:
a.         Kolaborasi tidak sengaja yang diperankan oleh masing-masing pihak dalam mempersiapkan sepiring nasi adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa kita tidak dapat hidup sendirian. Setiap orang membutuhkan peran dan bantuan orang lain.
b.        Profesi sebagai petani, peternak, nelayan, dan sopir angkutan adalah profesi yang mulia dan perlu mendapatkan penghargaan. Karena jasa mereka, kebutuhan hidup kita terpenuhi. Moga-moga prediket Indonesia sebagai negara agraris dapat diberdayakan dan sekaligus menghapus citra sebagai negara pengimport bahan makanan terbesar.
c.         Diperlukan waktu beberapa bulam untuk menghasilkan sebutir nasi, dan diperlukan waktu beberapa tahun untuk mendapatkan sepotong daging. Amatlah tidak etis orang-orang yang suka menyisakan dan membuang-buang makanan.

Sudah saatnya para pendidik (guru dan orang tua) merobah pola dan cara-cara mengajarnya. Tidak zamannya lagi menggunakan cara mengajar dengan membacakan teks, menjelaskan dan menyimpulkan serta melakukan evaluasi dengan mengajukan pertanyaan sesuai yang tertera dalam buku.

Pengalaman yang amat menggelikan justru terjadi saat penulis mengikuti Diklat. Seorang Widyaiswara gaek menyerahkan sebuah diktat kusam hasil ketikan manual (bukan koputer) untuk digandakan dan dibagikan kepada semua peserta. Kami kagum karena saat mengajar, dia membaca tanpa melihat teks dan tanpa salah sampai kepada titik dan koma. Kekaguman kami itu sirna saat menghadapi ujian karena semua soal harus dijawab sesuai dengan teks dalam diktat. Hasilnya dapat ditebak, hanya sedikit yang mendapatkan nilai minimal untuk kelulusan. Sementara mata ajar tersebut merupakan syarat untuk menentukan keberhasilan Diklat.

“Alam takambang jadi guru” Banyak hal di sekitar kita yang dapat dijadikan sumber belajar. Inovasi dan kreasi guru dan para pendidik diperlukan untuk menjamahnya.

Semoga mejadi guru dan pendidik yang inovatif dan kreatif demi masa depan peserta didik untuk kemajuan bangsa dan negara.

Amiiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar