Sebuah Agenda
Pendidikan Karakter
Mendengar, atau melihat ‘Sepiring nasi’
pikiran kita langsung mengarah kepada masalah ‘makan’. Apalagi sepiring nasi
dilengkapi dengan lauk-pauk dan penampilan yang mengundang selera pasti akan
membangunkan cacing-cacing di lambung yang tidak sabar menunggu untuk
melahapnya. Mereka menyanyikan lagu ‘keroncongan’, memaksa mata untuk menatap
dan mendorong mulut untuk mengeluarkan air ludah sebagai pertanda bahwa
sepiring nasi itu siap menjadi santapan.
Di mata orang miskin, sepiring nasi
adalah sesuatu yang amat berharga. Mereka belum tentu mendapatkannya setiap
hari. Tidak jarang mereka harus berpuasa sambil memeras keringat untuk
mendapatkan sepiring nasi. Orang tua mungkin dapat toleransi terhadap jeritan
lambungnya yang merintih kelaparan, tetapi tidak terhadap anak-anaknya. Orang
akan berbuat apa saja untuk mendapatkan sepiring nasi walaupun taruhannya nyawa
atau penjara. Lain halnya dengan orang kaya. Sepiring nasi adalah sesuatu yang
tidak berharga. Mereka bisa mendapatkannya kapan saja dan dengan harga berapa
saja. Mereka dapat makan sepuasnya atau bersisa untuk dibuang.
Tetapi apakah kita pernah berpikir
bagaimana sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauknya bisa terhidang di meja
makan atau tertata dalam sebuah piring? Siapa sajakah yang berperan dan
bagaimana sebuah kolaborasi nonformal sudah terbentuk?
Sepiring nasi dalam bentuk porsi
sederhana atau disebut dengan ‘nasi ramas’ atau ‘nasi ampera’ biasanya terdiri
dari nasi, sayuran, sepotong tahu atau tempe, sepotong ikan atau daging dan
bumbu perasa berupa cabe, bumbu dapur, rempah-rempah dan garam. Kelihatannya
memang sederhana. Tetapi harus diingat, tidak ada pohon nasi, pohon sayuran
matang, pohon tahu dan tempe serta pohon garam di bumi ini yang dapat ditanam
di sekitar rumah. Kita juga tidak bisa menata semua yang diperlukan itu
langsung di atas piring, bisa-bisa selera makan menjadi hilang atau piring
hancur berantakan ditimpa sapi.
Perlu proses panjang untuk menghadirkan
sepiring nasi di meja makan. Dimulai dari produsen hulu, produsen perantara,
distributor, agen, pedagang dan tenaga pengolah di dapur kita. Tidak jarang
pula, jalur yang ditempuh diperpanjang oleh pengusaha pengumpul dan pemasok
bahan baku untuk produsen perantara, pengusaha angkutan, serta pedagang
pengecer atau pedagang keliling.
Produsen hulu yang terdiri dari petani,
peternak dan nelayan – walaupun hakikatnya bukanlah awal dari sebuah produksi
karena mereka juga memerlukan jasa orang lain yang menyediakan alat dan bahan
untuk produksi mereka – adalah orang yang berjasa menyediakan bahan makanan
yang dapat dihidangkan dalam bentuk ‘sepiring nasi’.
Kita tidak mungkin menjelaskan satu
persatu jasa dan perjuangan mereka dalam menyediakan kebutuhan pokok untuk
kehidupan bangsa ini. Seperti petani yang terdiri dari petani padi, petani
sayuran, petani bumbu dapur, petani rempah-rempah, petani ikan dan petani
garam. Masing-masingnya dapat mempunyai spesifikasi sendiri-sendiri, seperti
seorang petani sayuran tidak mungkin menanam semua jenis sayuran yang
dibutuhkan oleh pasar. Terlalu panjang langkah yang diayunkan, terlalu banyak
kata yang harus dirangkai untuk menyajikan semuanya.
Padi, bahan baku beras dan selanjutnya untuk
dimasak menjadi nasi, bukanlah bulir-bulir yang dapat dipetik di hutan. Bukan
pula tumbuhan liar yang dapat hidup dan berkembang dengan sendirinya tanpa
campur tangan Bapak dan ibu tani. Tetesan keringat dan kesahajaan hidup petani
merupakan jasa besar bagi kehidupan semua orang, walaupun kadang-kadang mereka
menjadi sasaran empuk pemerasan dan penipuan para tengkulak. Mereka juga
kelompok masyarakat yang sering terlupakan dalam arena gebyar pembangunan. Hilangnya
subsidi pertanian dan digantikan dengan subsidi pangan merupakan pukulan telak
yang pernah menimpa petani. Para petani beralih fungsi menjadi urban untuk
mengadu nasib di kota. Minat anak muda untuk menjadi petani terhapus karena
penghasilan sebagai pengamen, pengemis atau pedagang asongan lebih baik dari
penghasilan seorang petani.
Profesi sebagai petani sering dipandang
sebelah mata, atau malah tidak dipandang sama sekali. Tetapi mampukah kita
menyelami kehidupan petani? Atau menggantikan tugasnya walau hanya untuk
beberapa hari?. Atau mampukah kita meramalkan apa yang terjadi bila suatu saat
tidak ada petani? Atau tidak ada lagi lahan pertanian yang bernama ‘sawah’
karena beralih fungsi menjadi lahan pemukiman, gudang, pabrik atau lapangan
golf?. Jawaban yang cepat adalah: Kita bisa mendatangkannya (import) dari
negara lain. Pilihan ini bukan tanpa risiko. Pengalaman Indonesia sebagai
negara pengimport beras adalah pengalaman pahit yang tidak perlu terulang lagi.
Pekerjaan petani nyaris 18 jam sehari
dan 7 hari seminggu. Di pagi hari, sebelum matahari menampakkan dirinya, petani
turun ke sawah bergelimang lumpur, mengolah tanah dan menggemburkannya untuk
dapat ditanami. Sejak penyemaian benih sampai panen dibutuhkan waktu
berbulan-bulan. Selama itu pula petani tidak pernah berhenti bekerja. Mereka
harus menyingkirkan gulma, melakukan pemupukan dan mengusir hama. Tidak jarang
pula mereka harus bermalam di sawah untuk menjaga agar sawahnya selalu
mendapatkan pasokan air yang cukup. Tidak heran apabila waktu panen, petani
amat menghargai hasil jerih payahnya. Bulir-bulir padi yang tercecer mereka
pungut satu persatu. Di rumah pun mereka amat menghormati makanannya. Mereka
tidak mau sebutir nasi pun terbuang percuma.
Amatilah sejenak. Luangkan waktu dan
lihat ‘apa saja’ yang ada dalam ‘sepiring nasi’. Siapa saja yang terlibat dalam
menyediakan bahan-bahan makanan, mendistribusikannya dan yang mengolahnya
hingga terhidang menjadi sepiring nasi.
Ajaklah anak atau siswa kita untuk
mempertanyakan dan menganalisa siapa saja yang berperan dalam mempersiapkan
sepiring nasi. Tanyakan:
-
Siapa
sajakah yang menanam padi, mengolahnya menjadi beras hingga sampai menjasi
nasi?
-
Siapa
sajakah yang menanam sayuran, yang mendistrbusikannya dan yang mengolahnya
hingga dapat dinikmati?
-
Siapa
sajakah yang mengeringkan air laut, dan yang memurnikan garam?
-
Siapa
sajakah yang menyediakan daging (sapi, kambing, ayam dan lain-lain), yang
mengolah dan mendistrbusikan sehingga kita tidak perlu membeli seekor sapi
untuk sepiring nasi?
-
Siapa
sajakah yang menyediakan kedele dan yang mengolahnya menjadi tahu atau tempe?
Masih banyak pertanyaan yang dapat
diajukan dari pengamatan kita terhadap sepiring nasi.
Ajaklah anak atau siswa kita untuk
berandai-andai:
-
Mampukah
kita menyediakan sepiring nasi tanpa peran dari petani, peternak, nelayan, alat
transportasi dan pedagang? Berapa tahun waktu yang diperlukan untuk
mempersiapkan sepiring nasi?
-
Apa
yang terjadi andaikan tidak ada petani, peternak, nelayan, dan orang-orang yang
berperan mendistribusikan semua bahan-bahan itu hingga sampai ke dapur kita?
-
Andaikan
orang-orang yang mengolah masakan di dapur kita mogok kerja karena sikap dan
perlakuan kita yang kasar dan suka menghina. Apa yang akan terjadi?
Amat bijaksana ajaran Islam yang
dicontohkan Rasulullah Saw. tentang adab dan tatacara makan:
1.
Memakan
makanan yang halal dan sehat dengan tidak berlebihan dan tidak mubazir
2.
Tidak
mencela makanan
3.
Bersikap
sederhana dan tidak berlebih-lebihan
4.
Mencuci
tangan sebelum makan
5.
Mengawali
makan dengan membaca ‘Basmalah’
6.
Duduk
dengan lurus dan tegap, tidak bersandar apalagi sambil tidur-tiduran
7.
Tidak
memenuhi mulut dengan makanan
8.
Tidak
banyak bicara apalagi bercanda saat makan
9.
Disunahkan
makan berjamaah untuk mempererat persaudaraan
10.
Tidak
mengeluarkan suara saat mengunyah makanan
11.
Jangan
mengawasi dan melihat-lihat orang makan
12.
Tidak
menyisakan makanan di piring dan mengambil makanan yang tersisa di jari-jari
tangan dengan mulut
13.
Membaca
‘Hamdalah’ setelah selesai makan
14.
Mencuci
tangan setelah makan
Beberapa pelajaran yang dapat diambil
dari mengamati ‘sepiring nasi’ adalah:
a.
Kolaborasi
tidak sengaja yang diperankan oleh masing-masing pihak dalam mempersiapkan
sepiring nasi adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa kita tidak dapat
hidup sendirian. Setiap orang membutuhkan peran dan bantuan orang lain.
b.
Profesi
sebagai petani, peternak, nelayan, dan sopir angkutan adalah profesi yang mulia
dan perlu mendapatkan penghargaan. Karena jasa mereka, kebutuhan hidup kita
terpenuhi. Moga-moga prediket Indonesia sebagai negara agraris dapat
diberdayakan dan sekaligus menghapus citra sebagai negara pengimport bahan
makanan terbesar.
c.
Diperlukan
waktu beberapa bulam untuk menghasilkan sebutir nasi, dan diperlukan waktu
beberapa tahun untuk mendapatkan sepotong daging. Amatlah tidak etis
orang-orang yang suka menyisakan dan membuang-buang makanan.
Sudah saatnya para pendidik (guru dan
orang tua) merobah pola dan cara-cara mengajarnya. Tidak zamannya lagi
menggunakan cara mengajar dengan membacakan teks, menjelaskan dan menyimpulkan
serta melakukan evaluasi dengan mengajukan pertanyaan sesuai yang tertera dalam
buku.
Pengalaman yang amat menggelikan justru
terjadi saat penulis mengikuti Diklat. Seorang Widyaiswara gaek menyerahkan
sebuah diktat kusam hasil ketikan manual (bukan koputer) untuk digandakan dan
dibagikan kepada semua peserta. Kami kagum karena saat mengajar, dia membaca
tanpa melihat teks dan tanpa salah sampai kepada titik dan koma. Kekaguman kami
itu sirna saat menghadapi ujian karena semua soal harus dijawab sesuai dengan
teks dalam diktat. Hasilnya dapat ditebak, hanya sedikit yang mendapatkan nilai
minimal untuk kelulusan. Sementara mata ajar tersebut merupakan syarat untuk
menentukan keberhasilan Diklat.
“Alam takambang jadi guru” Banyak hal di
sekitar kita yang dapat dijadikan sumber belajar. Inovasi dan kreasi guru dan
para pendidik diperlukan untuk menjamahnya.
Semoga mejadi guru dan pendidik yang
inovatif dan kreatif demi masa depan peserta didik untuk kemajuan bangsa dan
negara.
Amiiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar