Madrasah Aliyah Negeri
(MAN) 19 Jakarta yang berasal dari Kelas Jauh MAN 10, bagaikan bayi jenius yang
memperlihatkan tanda-tanda ketidakpuasan untuk selalu mencari dan menggapai
cita-cita yang lebih tinggi dan luhur. Tanda-tanda itu terlihat dalam suasana
Rapat Kerja yang dilaksanakan pada tanggal 8 Juli 2010.
Madrasah yang baru
melepaskan diri dari induknya mulai tahun ajaran 2009/2010 terus mencari
identitas diri sesuai tuntutan Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 dan Peraturan
Pemerintah nomor 19 Tahun 2005. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) –
sebagai perwujudan dari Otonomi Pendidikan – memberi peluang bagi madrasah
untuk membangun identitas sendiri. Kondisi ini juga dipacu oleh prestasi siswa
dan perekonomian keluarganya.
Prestasi siswa yang
lulus murni (UN Tahap 1) mendapatkan nilai yang membanggakan. Sebanyak 68 siswa
lulusan pertama meraih nilai rata-rata 6,95 dengan rincian (rata-rata per mata
ujian): Bahasa Indonesia 7,16; Bahasa Inggris 6,15; Matematika 8,43; Ekonomi
7,35; Ilmu Pengetahuan Sosial 6,54; Geografi 6,08. Kemungkinan siswa
melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi – berdasarkan pekerjaan orang
tua/wali murid dan penghasilannya – tentu saja mejadi pertimbangan utama dalam
menetapkan visi, misi dan kurikulum madrasah.
Jumlah siswa tahun
ajaran 2010 – 2011 sebanyak 231 orang umumnya berasal dari keluarga ekonomi
menengah ke bawah, seperti pada tabel:
Pekerjaan
(%)
|
Penghasilan
(%)
|
||
PNS
|
4,8
|
>Rp2.000.000
|
4,8
|
Karyawan Swasta
|
21,2
|
Rp1 - 2 juta
|
25,5
|
Wirausaha
|
30,7
|
Rp0,5 – 1 juta
|
16,9
|
Buruh
|
37,7
|
13,0
|
|
Lainnya
|
5,6
|
Tidak Tetap
|
39,8
|
MAN 19 sadar akan tanggung
jawabnya terhadap masa depan peserta didiknya. Dia tidak rela kalau muridnya
kelak mejadi ‘pengangguran terdidik’ yang pada gilirannya menyusahkan keluarga
dan masyarakat. Untuk itu MAN 19 bertekad untuk: “Mengembangkan kemandirian, inovasi dan kreatifitas siswa melalui
proses pembelajaran”.
Memang tidak mudah bagi MAN 19 untuk
mewujudkan impiannya ditengah keterbatasan sarana dan prasarana. Dia memerlukan
laboratorium bahasa, laboratorim fisika, perpustakaan, teknik informatika (IT)
dan keterampilan yang sekarang masih berupa ruang kosong.
Masjid tidak hanya berfungsi sebagai
laboratorium pendidikan agama dan keterampilan, juga sebagai sarana komunikasi
dengan masyarakat sekitar, memang sudah dalam perencanaan untuk dibangunan.
Masjid - dalam arti sempit - sebagai tempat
ibadah, tidak berlaku bagi sebuah kampus pendidikan. Dalam sebuah kampus,
masjid mempunyai arti luas. Masjid adalah media, alat dan sarana pendidikan. ‘Semua berbicara’ kata Bobbi dePotter
dalam bukunya Quantum Learning. Fungsi masjid sebagai lembaga dakwah,
pendidikan dan pembelajaran layaknya pada zaman Rasul dan para sahabat tampaknya
sudah menjadi pertimbangan MAN 19.
Kini, tinggal kemauan bersama – instansi
pembina (Depag/Diknas/Pemda), Cendikiawan, pemimpin masyarakat, tokoh agama,
pengusaha dan masyarakat – untuk mewujudkan kemauan itu. Kita tidak mungkin
menyerahkan semua itu kepada pihak madrasah (Staf madrasah dan Komite) karena
peserta didik adalah putra/putri kita dan aset masa depan bangsa dan negara.
‘Jangan
tinggalkan keturunanmu dalam keadaan lemah’ perintah Allah Swt. dalam Al-Qur’an. Kata
“lemah” di sini bukan dalam bentuk materi. Meninggalkan warisan dalam bentuk
harta yang melimpah justru dapat membawa putra/putri kita pada petaka. Dapat menjauhkan
mereka dari jalan agama. Jika hal ini yang terjadi, siapakah yang
bertanggungjawab?
ﻘﻭااﻨﻔﺴﻜﻡ ﻭاﻫﻠﻴﻜﻡﻨﺎﺭا
‘Peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka’
Cukuplah orientasi
pendidikan kita untuk hanya mendambakan kecerdasan inteletual (IQ). Menciptakan
anak didik sebagai gudang ilmu. Kita telah lama meninggalkan pendidikan
karakter (akhlak) dan pendidikan kecakapan hidup (lifeskill) dan hasilnya telah
dirasakan bersama. Baca...
Sudah saatnya pandangan
diarahkan ke madrasah. Lembaga pendidikan yang dirintis dan diperjuangkan oleh
para Ulama dan cendikiawan Islam. Madrasah memiliki arah dan sistim sendiri
yang berbeda dari pendidikan warisan penjajah Belanda yang khusus untuk
menciptakan tenaga kerja (buruh/karyawan).
Geliat madrasah
merupakan kilas balik dari kekisruhan pendidikan yang ditandai dengan
hasil-hasilnya (baca: out-put dan out-come). Pendidikan madrasah merupakan
kelanjutan dari sistim Pendidikan Islam. Pendidikan yang di awali pada zaman
Rasulullah Saw. Pendidikan yang lebih terfokus kepada pendidikan akhlak
(karakter) dan pendidikan kecakapan hidup (lifeskill).
Perobahan madrasah diawali
dengan perobahan sistem dan kurikulum Pendidikan Nasional. Sejak itu, Madrasah
bukan lagi lembaga pendidikan agama dengan segala kemandiriannya. Tetapi
madrasah adalah lebaga pendidikan (sekolah) bercirikan agama Islam. Dengan
demikian, pembeda antara madrasah dengan sekolah hanya terletak pada ‘Mata Pelajaran
Agama Islam’. Dari segi kesetaraan, madrasah diakui sama dengan sekolah, tetapi
dari segi kurikulum madrasah memiliki beban lebih banyak. Akibatnya, madrasah
dipaksa untuk menyelesaikan target kurikulum jika tidak mau tertinggal dari
sekolah. Jadilah strategi pembelajaran memiliki arti sebagai ‘mentransfer ilmu
kepada peserta didik’.
Arti pembelajaran
sebagai ‘mengajar peserta didik bagaimana cara belajar yang baik’ yang
dilaksanakan di Pesanteren dan madrasah sejak berabad-abad menjadi hilang. Kini
saatnya madrasah kembali kepada jatidirinya. Sebagai lembaga pendidikan akhlak
(karekter) dan pendidikan kecakapan hidup (lifeskill) untuk menciptakan siswa
mandiri dan memiliki semangat ‘belajar seumur hidup’
Gelombang ‘kembali ke
madrasah’ seperti pada awal reformasi (tahun 1998 – 2000) sulit diraih kembali selama
madrasah belum mampu menjawab tuntutan dan memenuhi harapan masyarakat. Madrasah
harus berbenah. Madrasah harus kembali ke jati dirinya sebagai lembaga
pendidikan berbasis masyarakat.
Kepedulian bersama amat
dibutuhkan, demi masa depan generasi muda untuk pembangunan bangsa dan negara.
Drs. Barkat Guna Harahap, Kepala MAN 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar