Oleh: Drs.
Zafril
Amat
beruntunglah Indonesia yang memiliki Pahlawan Pendidikan. Mereka sadar bahwa
keterbelakangan, kemiskinan, atau banyaknya kakitangan penjajah adalah akibat
rendahnya pendidikan masyarakat. Mereka melihat: Betapa banyaknya orang yang
siap menggadaikan bangsa dan negara sendiri untuk sesuatu yang bernama ‘harta’
dan ‘tahta’. Betapa banyaknya orang yang bersedia menjadi alat penjajah untuk
menyiksa, menggusur dan atau merampas harta bangsanya sendiri untuk
mempertahankan kedudukan demi gaji dan jabatan yang dijanjikan.
Pahlawan
kita berjuang untuk kemerdekan dan pendidikan di bawah tekanan, penyiksaan,
pengucilan dan bahkan ditangkap untuk dibuang atau dipenjarakan. Tetapi semangat
mereka tidak pernah luntur, cita-cita mereka tidak pernah kabur, dan bahkan
harta pun mereka korbankan untuk sesuatu yang bernama ‘pendidikan’. Cita-cita
pahlawan pendidikan kita adalah untuk menjadikan bangsa dan negara ini menjadi
bangsa dan negara yang jaya, dengan penduduk yang cerdas, bermartabat, dan
sejahtera, dan yang terbebas dari penjajahan – baik penjajahan konvensional
maupun penjajahan moderen.
Kenyataan
yang ada saat ini: jauh panggang dari api. Tidak bersentuhan dengan cita-cita
pahlawan pendidikan. Bahkan sebaliknya: sesuatu yang mereka takutkan, kini sudah
menjelma dengan frekuensi yang lebih tinggi.
Carut
marut bangsa ini, yang ditandai dengan tawuran, tindak kejahatan merajalela,
korupsi - katanya - sudah membudaya, makelar peradilan dan kasus (Markus),
termasuk juga makelar tanah semakin menggurita. Rasanya sulit menemukan ranah
kehidupan bangsa ini yang tidak tersentuh tangan-tangan kotor. Motto mereka
adalah ‘uang’, halal atau haram tidak menjadi soal. Kalau perlu, bangsa dan
negara ini pun dijual.
Lihatlah
peristiwa Serdang Bedagai (Sumut), makam Mbah Priok, dan wilayah lainnya.
Perampasan hak rakyat melalui rekayasa hukum. Penggusuran terhadap orang kecil
dengan alasan demi keadilan atau keindahan tanpa solusi yang berakibat pada
bertambahnya penggangguran dan kemiskinan. Betapa sulit dan mahalnya keadilan
untuk orang-orang kecil nan miskin. Apakah kita tidak mencium bau busuk
dibelakang semua peristiwa itu? Apakah kita tidak melihat tangan-tangan kotor
yang bermain untuk kepentingan dan kekayaan sendiri?
Kita tidak
dapat melihat betapa besarnya kerugian negara akibat ulah Gayus-gayus itu. Uang
28M bagi negara memang kecil, tetapi itu adalah uang suap untuk meringankan
beban pajak. Dalam satu berita disebutkan: ada salah satu dari wajib pajak yang
memiliki kewajiban sebesar 650M, tetapi dengan bantuan tangan gayus-gayus itu
dia hanya menyetorkan ke kas negara sebesar 65M. Hitung berapa kerugian negara
dalam satu kasus ini (N=650M–65M) dan bayangkan juga dengan ribuan kasus
lainnya.
Apabila
seorang petugas kebersihan - Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jatim 1 - dapat
memiliki kemewahan yang begitu besar, akan menyadarkan kita: betapa rapuhnya
moral dan sistim pengelolaan keuangan negara, termasuk melakukan rekayasa hukum
untuk meringankan beban pajak bos Ramayana. Jika hari ini kita dihebohkan dengan
kasus pajak, tidak tertutup kemungkinan pada sektor-sektor lainnya dalam tubuh
pengelolaan keuangan negara juga akan terungkap.
Rasulullah, Muhammad Saw bersabda: “Pemberi suap dan penerima suap sama-sama
masuk neraka”. Kenyataan, yang masuk neraka hanyalah ‘penerima suap’. Masih
langka di telinga kita mendengar adanya ‘pemberi suap’ masuk neraka. Contoh
kasus: penerima suap anggota DPR dalam pemilihan Gubernur Senior BI telah
mendekam di penjara (baca: Neraka), tetapi pemberi suap masih bebas menebar
senyum manisnya di depan wartawan. Kita tidak peduli apakah uang suap itu
berasal dari uang negara atau tidak, tetapi disini berlaku hukum ekonomi:
‘dimana ada penawaran disitu ada permintaan’, sebaliknya ‘dimana ada permintaan
disitu ada penawaran’.
Dapatkah
kita membantah bahwa mereka-mereka itu bukan produk pendidikan? Dapatkah kita
membuktikan bahwa Gayus-Gayus yang yang sudah terjerat hukum maupun yang masih
berlagak pilon bak aparat yang bersih dan orang suci tidak pernah memakan bangku
sekolah di negeri ini? Ataukah kita akan mengelak untuk sekedar cuci tangan
bahwa tawuran antar pelajar, antar mahasiswa, antar suporter olah raga atau
antar kampung bukan kesalahan pendidikan?, atau akan selalu menyalahkan orang
kecil yang bernama ‘Guru’ dan ‘orang tua’ dengan tuduhan ‘tidak becus
mendidik?’.
Pemerintah
mendongkrak pendidikan melalui peningkatan pembiayaan, bukan hanya dari
penerimaan dalam negeri tetapi juga melalui pinjaman. Tahun ini, pinjaman luar
negeri Indonesia untuk pendidikan sebesar US$600 juta. ‘Ini adalah pinjaman
terbesar sepanjang sejarah’, ungkap Vellez Bustillo. Indonesia adalah salah satu
dari lima negara peminjam dengan produk domestik bruto di atas rata-rata empat
negara peminjam lainnya: Vietnam, Laos, Kamboja dan Timor Leste. Sementara
Filipina dengan produk bruto rata-rata lebih rendah dari Indonesia tidak
termasuk dalam kelompok yang tergantung dengan Bank Dunia.
Apakah
yang salah dengan pendidikan kita? Apakah lembaganya yang masih kurang? Atau-kah
jiwa idelisme dan patriotisme pembuat dan pelaksana kebijakan pendidikan telah
menghilang?. Terlalu rumit untuk menjelajahinya satu-persatu.
Yang
pasti, jumlah sekolah bagaikan jamur di musim hujan. Jika pada zamannya Ki Hajar
Dewantara jumlah sekolah dapat dihitung dengan jari, sekarang dengan kalkulator
12 digit pun sudah tidak mampu menghitungnya. Apalagi menghitung orang-orang
yang katanya terdidik dengan bukti selembar ‘ijazah’.
Sejak
berpuluh tahun lalu, pembangunan kita hanya tertuju pada pembangunan materi.
Jalan membentang semakin mulus, hutan beton menjamur di mana-mana, investor
asing diundang untuk menampung tenaga kerja yang melimpah dengan upah yang
murah. Produk asing datang berlomba-lomba. Memang tingkat kesejahteraan
masyarakat meningkat, dan orang mampu membeli apa saja. Jadilah Indonesia
sebagai pasar terbesar bagi produk asing yang pada gilirannya menyuburkan sikap
konsumtif dalam kehidupan masyarakat.
Untuk
pembiayaan pembangunan, pemerintah menguras habis berbagai sumber: Hutan yang
subur kini menyisakan kegundulan, 92% eksploitasi minyak bumi dikuasai olah
Paman Sam (Kwik Kian Gie, Tatapmuka tvOne), gas alam dijual murah dengan sistem
kontrak, banyak aset negara telah dijual (Indosat, BCA, HI, dll). Hutang negara?
Wow, semakin gemuk. Tetapi bagaimana dengan pembangunan pendidikan? Masalah
pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan adalah nomor 16 (obat sakit
kepala kali?). Yang penting gaya, kualitas nanti aja.
Sudah
terlalu lama pendidikan termarginalisasikan: pembangunan gedung sekolah hanya
sebatas proyek, penyediaan sarana belajar sebatas formalitas, dan pembinaan
profesional dan martabat guru/tenaga kependidikan gak usah ditanya: Sudah
terbiasa bagi guru menghadapi perampingan kegiatan seperti workshoop/penataran
dari 10 hari menjadi 2 hari. Sudah terbiasa bagi guru untuk menyediakan lampiran
tambahan (amplop) pada setiap kali pengurusan kepangkatan atau pemutasian. Serta
sudah terbiasa bagi guru menandatangani bukti penerimaan uang saku/transpor pada
setiapkali mengikuti kegiatan pembinaan tanpa dapat melihat angka sebenarnya.
Pendidikan
kita sudah lama terbius oleh, yang katanya, kecerdasan intelektual (IQ). Otak
anak dianggap seperti harddisc pada sebuah komputer. Otak anak dapat diisi
dengan apa saja, walaupun ilmu yang diberikan nantinya akan menjadi sampah.
Untuk mencapai itu, guru dipaksa untuk menyelasaikan ‘target kurikulum’ sehingga
mengabaikan pendidikan karakter. Kurikulum yang padat materi tetapi kosong isi
akan membentuk kepribadian yang tidak seimbang. Output-nya adalah orang-orang
yang pintar ngomong tetapi tidak bisa kerja, pintar mengkritik tanpa solusi,
mudah tersulut emosi yang tidak terkendali, serta mudah terbawa arus tanpa bisa
mengendalikan diri.
Andaikan
di alam sana, Pahlawan Pendidikan kita melihat carut-marut bangsa ini sebagai
produk dari pendidikan yang mereka rintis dan mereka perjuangkan, tentu saja air
mata mereka bercucuran. Andaikan saja kita dapat menyaksikan bagaimana sedihnya
pahlawan pendidikan di alam sana, tentu kita tidak akan melemparkan kesalahan
kepada takdir.
Hapuslah
air matamu, Pahlawanku. Tidak usah bersedih lagi. Tuhan pasti tahu mana yang
salah dan mana yang benar. Allah akan membalas kebaikan dan kejahatan walaupun
hanya sebesar biji zarrah.
Di alam
sana, Allah akan memperlihatkan mana yang pejuang dan mana yang pecundang, mana
yang pahlawan dan mana yang pengkhianat, dan mana yang ikhlas dan mana yang
culas. Hanya do’a kami semoga cita-citamu yang mulia itu dapat diwujudkan pada
masa-masa yang akan datang.
Ya Allah.
Gembirakankanlah pahlawan kami, jangan biarkan mereka bersedih melihat ulah
generasi penerusnya. Tempatkanlah mereka pada tempat yang pantas sesuai dengan
keluhuran perjuangan dan cita-cita mereka. Amiiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar