Minggu, 25 April 2010

Air Mata Pahlawan Pendidikan

New Page 2
Oleh: Drs. Zafril
Amat beruntunglah Indonesia yang memiliki Pahlawan Pendidikan. Mereka sadar bahwa keterbelakangan, kemiskinan, atau banyaknya kakitangan penjajah adalah akibat rendahnya pendidikan masyarakat. Mereka melihat: Betapa banyaknya orang yang siap menggadaikan bangsa dan negara sendiri untuk sesuatu yang bernama ‘harta’ dan ‘tahta’. Betapa banyaknya orang yang bersedia menjadi alat penjajah untuk menyiksa, menggusur dan atau merampas harta bangsanya sendiri untuk mempertahankan kedudukan demi gaji dan jabatan yang dijanjikan.

Pahlawan kita berjuang untuk kemerdekan dan pendidikan di bawah tekanan, penyiksaan, pengucilan dan bahkan ditangkap untuk dibuang atau dipenjarakan. Tetapi semangat mereka tidak pernah luntur, cita-cita mereka tidak pernah kabur, dan bahkan harta pun mereka korbankan untuk sesuatu yang bernama ‘pendidikan’. Cita-cita pahlawan pendidikan kita adalah untuk menjadikan bangsa dan negara ini menjadi bangsa dan negara yang jaya, dengan penduduk yang cerdas, bermartabat, dan sejahtera, dan yang terbebas dari penjajahan – baik penjajahan konvensional maupun penjajahan moderen.

Kenyataan yang ada saat ini: jauh panggang dari api. Tidak bersentuhan dengan cita-cita pahlawan pendidikan. Bahkan sebaliknya: sesuatu yang mereka takutkan, kini sudah menjelma dengan frekuensi yang lebih tinggi.

Carut marut bangsa ini, yang ditandai dengan tawuran, tindak kejahatan merajalela, korupsi - katanya - sudah membudaya, makelar peradilan dan kasus (Markus), termasuk juga makelar tanah semakin menggurita. Rasanya sulit menemukan ranah kehidupan bangsa ini yang tidak tersentuh tangan-tangan kotor. Motto mereka adalah ‘uang’, halal atau haram tidak menjadi soal. Kalau perlu, bangsa dan negara ini pun dijual.

Lihatlah peristiwa Serdang Bedagai (Sumut), makam Mbah Priok, dan wilayah lainnya.  Perampasan hak rakyat melalui rekayasa hukum. Penggusuran terhadap orang kecil dengan alasan demi keadilan atau keindahan tanpa solusi yang berakibat pada bertambahnya penggangguran dan kemiskinan. Betapa sulit dan mahalnya keadilan untuk orang-orang kecil nan miskin. Apakah kita tidak mencium bau busuk dibelakang semua peristiwa itu? Apakah kita tidak melihat tangan-tangan kotor yang bermain untuk kepentingan dan kekayaan sendiri?

Kita tidak dapat melihat betapa besarnya kerugian negara akibat ulah Gayus-gayus itu. Uang 28M bagi negara memang kecil, tetapi itu adalah uang suap untuk meringankan beban pajak. Dalam satu berita disebutkan: ada salah satu dari wajib pajak yang memiliki kewajiban sebesar 650M, tetapi dengan bantuan tangan gayus-gayus itu dia hanya menyetorkan ke kas negara sebesar 65M. Hitung berapa kerugian negara dalam satu kasus ini (N=650M–65M) dan bayangkan juga dengan ribuan kasus lainnya.

Apabila seorang petugas kebersihan - Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jatim 1 - dapat memiliki kemewahan yang begitu besar, akan menyadarkan kita: betapa rapuhnya moral dan sistim pengelolaan keuangan negara, termasuk melakukan rekayasa hukum untuk meringankan beban pajak bos Ramayana. Jika hari ini kita dihebohkan dengan kasus pajak, tidak tertutup kemungkinan pada sektor-sektor lainnya dalam tubuh pengelolaan keuangan negara juga akan terungkap.

Rasulullah, Muhammad Saw bersabda: “Pemberi suap dan penerima suap sama-sama masuk neraka”. Kenyataan, yang masuk neraka hanyalah ‘penerima suap’. Masih langka di telinga kita mendengar adanya ‘pemberi suap’ masuk neraka. Contoh kasus: penerima suap anggota DPR dalam pemilihan Gubernur Senior BI telah mendekam di penjara (baca: Neraka), tetapi pemberi suap masih bebas menebar senyum manisnya di depan wartawan. Kita tidak peduli apakah uang suap itu berasal dari uang negara atau tidak, tetapi disini berlaku hukum ekonomi: ‘dimana ada penawaran disitu ada permintaan’, sebaliknya ‘dimana ada permintaan disitu ada penawaran’.

Dapatkah kita membantah bahwa mereka-mereka itu bukan produk pendidikan? Dapatkah kita membuktikan bahwa Gayus-Gayus yang yang sudah terjerat hukum maupun yang masih berlagak pilon bak aparat yang bersih dan orang suci tidak pernah memakan bangku sekolah di negeri ini? Ataukah kita akan mengelak untuk sekedar cuci tangan bahwa tawuran antar pelajar, antar mahasiswa, antar suporter olah raga atau antar kampung bukan kesalahan pendidikan?, atau akan selalu menyalahkan orang kecil yang bernama ‘Guru’ dan ‘orang tua’ dengan tuduhan ‘tidak becus mendidik?’.

Pemerintah mendongkrak pendidikan melalui peningkatan pembiayaan, bukan hanya dari penerimaan dalam negeri tetapi juga melalui pinjaman. Tahun ini, pinjaman luar negeri Indonesia untuk pendidikan sebesar US$600 juta. ‘Ini adalah pinjaman terbesar sepanjang sejarah’, ungkap Vellez Bustillo. Indonesia adalah salah satu dari lima negara peminjam dengan produk domestik bruto di atas rata-rata empat negara peminjam lainnya: Vietnam, Laos, Kamboja dan Timor Leste. Sementara Filipina dengan produk bruto rata-rata lebih rendah dari Indonesia tidak termasuk dalam kelompok yang tergantung dengan Bank Dunia.
Apakah yang salah dengan pendidikan kita? Apakah lembaganya yang masih kurang? Atau-kah jiwa idelisme dan patriotisme pembuat dan pelaksana kebijakan pendidikan telah menghilang?. Terlalu rumit untuk menjelajahinya satu-persatu.

Yang pasti, jumlah sekolah bagaikan jamur di musim hujan. Jika pada zamannya Ki Hajar Dewantara jumlah sekolah dapat dihitung dengan jari, sekarang dengan kalkulator 12 digit pun sudah tidak mampu menghitungnya. Apalagi menghitung orang-orang yang katanya terdidik dengan bukti selembar ‘ijazah’.

Sejak berpuluh tahun lalu, pembangunan kita hanya tertuju pada pembangunan materi. Jalan membentang semakin mulus, hutan beton menjamur di mana-mana, investor asing diundang untuk menampung tenaga kerja yang melimpah dengan upah yang murah. Produk asing datang berlomba-lomba. Memang tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat, dan orang mampu membeli apa saja. Jadilah Indonesia sebagai pasar terbesar bagi produk asing yang pada gilirannya menyuburkan sikap konsumtif dalam kehidupan masyarakat.

Untuk pembiayaan pembangunan, pemerintah menguras habis berbagai sumber: Hutan yang subur kini menyisakan kegundulan, 92% eksploitasi minyak bumi dikuasai olah Paman Sam (Kwik Kian Gie, Tatapmuka tvOne), gas alam dijual murah dengan sistem kontrak, banyak aset negara telah dijual (Indosat, BCA, HI, dll). Hutang negara? Wow, semakin gemuk. Tetapi bagaimana dengan pembangunan pendidikan? Masalah pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan adalah nomor 16 (obat sakit kepala kali?). Yang penting gaya, kualitas nanti aja.

Sudah terlalu lama pendidikan termarginalisasikan: pembangunan gedung sekolah hanya sebatas proyek, penyediaan sarana belajar sebatas formalitas, dan pembinaan profesional dan martabat guru/tenaga kependidikan gak usah ditanya: Sudah terbiasa bagi guru menghadapi perampingan kegiatan seperti workshoop/penataran dari 10 hari menjadi 2 hari. Sudah terbiasa bagi guru untuk menyediakan lampiran tambahan (amplop) pada setiap kali pengurusan kepangkatan atau pemutasian. Serta sudah terbiasa bagi guru menandatangani bukti penerimaan uang saku/transpor pada setiapkali mengikuti kegiatan pembinaan tanpa dapat melihat angka sebenarnya.

Pendidikan kita sudah lama terbius oleh, yang katanya, kecerdasan intelektual (IQ). Otak anak dianggap seperti harddisc pada sebuah komputer. Otak anak dapat diisi dengan apa saja, walaupun ilmu yang diberikan nantinya akan menjadi sampah. Untuk mencapai itu, guru dipaksa untuk menyelasaikan ‘target kurikulum’ sehingga mengabaikan pendidikan karakter. Kurikulum yang padat materi tetapi kosong isi akan membentuk kepribadian yang tidak seimbang. Output-nya adalah orang-orang yang pintar ngomong tetapi tidak bisa kerja, pintar mengkritik tanpa solusi, mudah tersulut emosi yang tidak terkendali, serta mudah terbawa arus tanpa bisa mengendalikan diri.

Andaikan di alam sana, Pahlawan Pendidikan kita melihat carut-marut bangsa ini sebagai produk dari pendidikan yang mereka rintis dan mereka perjuangkan, tentu saja air mata mereka bercucuran. Andaikan saja kita dapat menyaksikan bagaimana sedihnya pahlawan pendidikan di alam sana, tentu kita tidak akan melemparkan kesalahan kepada takdir.

Hapuslah air matamu, Pahlawanku. Tidak usah bersedih lagi. Tuhan pasti tahu mana yang salah dan mana yang benar. Allah akan membalas kebaikan dan kejahatan walaupun hanya sebesar biji zarrah.

Di alam sana, Allah akan memperlihatkan mana yang pejuang dan mana yang pecundang, mana yang pahlawan dan mana yang pengkhianat, dan mana yang ikhlas dan mana yang culas. Hanya do’a kami semoga cita-citamu yang mulia itu dapat diwujudkan pada masa-masa yang akan datang.

Ya Allah. Gembirakankanlah pahlawan kami, jangan biarkan mereka bersedih melihat ulah generasi penerusnya. Tempatkanlah mereka pada tempat yang pantas sesuai dengan keluhuran perjuangan dan cita-cita mereka. Amiiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar